Kurasa
aku sudah terlalu lama berputar-putar di jalan yang sama, dan hampir menyerah.
Mengertikah kau bahwa aku sudah cukup pasrah atas segala yang kau minta padaku. Bahwa sesungguhnya aku tak selalu bisa, tapi ku paksa bisa. Untukmu, hanya untukmu. Kamulah satu-satunya orang yang mampu membuatku berkata ‘iya’ meski sesungguhnya aku ‘tidak’ !
Mengertikah kau, aku berlari sedemikian kencang sampai nyaris kehabisan napas. Itu kulakukan untuk mengejar mimpi yang kau impikan tiap malam. Aku mencoba melompat setinggi yang aku mampu, hingga seluruh urat kakiku terasa pegal. Untuk apa? Untuk menggapai bintang yang kau minta sedari dulu.
Mengertikah kau, aku tak selalu bisa berlari, melompat, dan mengiyakan tidakku. Aku sudah kehabisan hampir seluruh waktuku demi menuruti segala yang kau minta.
Kadang aku merasa sedemikian bodoh, mengapa aku harus menjadi seperti yang kau minta, sedang aku tak menginginkannya. Sederet daftar permintaanmu bagiku seperti menelan segelas air garam yang hanya membuatku kian haus.
Tiap kali kuraih bintang untukmu, kau selalu menunjuk bintang yang letaknya lebih tinggi. Terus begitu, dan tak pernah sekalipun aku menolaknya. Kupaksa melompat meski mata kakiku kian bengkak dan rasanya sungguh ngilu.
Tak cukupkah aku menjadi ekormu, yang selalu mengikuti kepalamu bergerak kesana kemari sesukamu. Kadang aku ingin menolak pintamu, tak mau lagi kencang berlari, tak mau lagi melompat meraih kumpulan bintang-bintang yang kau tunjuk.
Tak bisakah sejenak kau membiarkanku bersandar sejenak di sebatang pohon, secangkir kopi, dan senja yang nyaris lenyap?
Mengertikah kau bahwa aku sudah cukup pasrah atas segala yang kau minta padaku. Bahwa sesungguhnya aku tak selalu bisa, tapi ku paksa bisa. Untukmu, hanya untukmu. Kamulah satu-satunya orang yang mampu membuatku berkata ‘iya’ meski sesungguhnya aku ‘tidak’ !
Mengertikah kau, aku berlari sedemikian kencang sampai nyaris kehabisan napas. Itu kulakukan untuk mengejar mimpi yang kau impikan tiap malam. Aku mencoba melompat setinggi yang aku mampu, hingga seluruh urat kakiku terasa pegal. Untuk apa? Untuk menggapai bintang yang kau minta sedari dulu.
Mengertikah kau, aku tak selalu bisa berlari, melompat, dan mengiyakan tidakku. Aku sudah kehabisan hampir seluruh waktuku demi menuruti segala yang kau minta.
Kadang aku merasa sedemikian bodoh, mengapa aku harus menjadi seperti yang kau minta, sedang aku tak menginginkannya. Sederet daftar permintaanmu bagiku seperti menelan segelas air garam yang hanya membuatku kian haus.
Tiap kali kuraih bintang untukmu, kau selalu menunjuk bintang yang letaknya lebih tinggi. Terus begitu, dan tak pernah sekalipun aku menolaknya. Kupaksa melompat meski mata kakiku kian bengkak dan rasanya sungguh ngilu.
Tak cukupkah aku menjadi ekormu, yang selalu mengikuti kepalamu bergerak kesana kemari sesukamu. Kadang aku ingin menolak pintamu, tak mau lagi kencang berlari, tak mau lagi melompat meraih kumpulan bintang-bintang yang kau tunjuk.
Tak bisakah sejenak kau membiarkanku bersandar sejenak di sebatang pohon, secangkir kopi, dan senja yang nyaris lenyap?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar